Epilog - Penangkapan
Tak lama
kemudian, nomor tidak dikenal menelpon Haris. Dia dengan agak gugup mengangkat
panggilan tersebut. “Halo, Haris.”
“Si-siapa
ini?”
“Perkenalkan,
namaku Muhammad Idris, orang yang kamu ingin ketahui.” Hal itu malah menambah
kegugupan Haris.
“Sebentar
lagi, Firdaus akan menjemputmu. Tunggulah depan rumah, mari kita bertemu.”
“Aku
bahkan belum ganti baju.”
“Gak
usah!” Panggilan dimatikan.
“Apa
yang mereka rencanakan?”
***
Haris
dengan tangan yang diborgol berada di sebelah Firdaus sebagai supir mobil. Kali
ini, Firdaus tidak mengenakan seragam polisinya. Mereka melaju dengan kencang.
“Tidak
hanya Pak Faisal, Anda juga mengendarai mobil dengan cepat rupanya.”
“Kami
sebagai polisi sudah dilatih untuk berkendara dengan cepat, apalagi menghadapi
petindak kriminal.”
“Akan
kemana kita?”
“Kamu
akan segera mengetahuinya.”
***
Mereka
sampai di tujuan, sebuah bangunan. Depan bangunan itu berdiri gerbang yang
dihiasi dengan mawar. “Kita sampai.”
Firdaus turun lebih dahulu kemudian mengeluarkan Haris
dengan sedikit paksaan dan mendorongnya dari belakang.
“Halo Mbak Rina. Senang bertemu Anda lagi. Tidak banyak
yang berubah dengan Anda.”
“Gak juga. Taulah juga kamu gimana caranya,” jawab
seorang wanita bernama Rina itu. “Ada apa nih?”
“Mau membawa orang ini ke tempat itu.”
“Baiklah jika itu maumu. Kamu lebih melihat kejadian itu
dibanding aku yang hanya datang pascanya.”
Firdaus membawa Haris untuk berdiri di depan sebuah
ruangan. “Kamu mengenal tempat ini?” tanya Firdaus.
Secercah ingatan muncul di kepala Haris. “Ya.”
“Ruangan itu adalah tempat kejadian pembunuhan
Manunggal.” Firdaus berdiri di sebelah kiri Haris sambil menunjuknya.
“Sekarang, aku memaksamu untuk membayangkan kamu jadi orang yang melihat
kejadian itu secara langsung dari sudut pandang ini.”
Haris terdiam sekaligus merinding. “Kurasa sekarang kamu
paham sehingga aku akan membawamu ke tujuan utama kita.”
***
Mereka
sampai di sebuah rumah. Di kanannya terdapat sebuah gerbang yang menjadi
pembatas. Firdaus turun membawa Haris ke depan pintu dan membukanya tanpa
mengetuk. Mereka memasuki sebuah ruangan.
“Selamat
datang di ruangan pribadiku.” Seseorang yang duduk menghadap ke belakang,
berputar dari kursinya untuk menatap wajah tamu. “Sudah lama kamu tidak ke
sini, Firdaus. Sekarang, kamu sudah jadi polisi rupanya.” Firdaus hanya tunduk
diam.
“Kamu
seharusnya datang lebih cepat dari ini. Kamu membawanya ke Rumah Maneken Lilin
itu dulu?” Firdaus mengangguk menjawab pertanyaan dari Idris itu.
“Dekatkan
dia denganku.” Haris didudukkan di kursi menghadap Idris dengan mejanya
sementara Firdaus hanya berdiri di sebelah kiri Haris.
“Aku
yakin kamu mengenal buku ini.” Idris menarik laci mejanya dan meletakkan buku
tulis itu di atas meja.
“Bukuku!”
Haris mengenal karena itu memang miliknya.
“Barang
itu?” Idris menatap Firdaus dan dia meletakkan laptop ke atas meja.
“Laptopku!”
“Bagaimana
dengan buku ini?” tanya Idris menunjukkan buku lainnya.
“Aku
meminjamnya dari perpustakaan sekolah dan belum mengembalikannya sampai
sekarang.” Idris menertawakan hal itu.
“Perlu
kamu ketahui Haris. Buku ini disadur dari diary kami berdua.” Idris dan Firdaus
saling bertatapan. “Acara televisi yang kamu tonton bersama Firdaus dan Faisal
itu, berdasarkan novel ini.”
“Kami
sudah menghadapi semuanya bersama. Kesehatanku yang sempat drop dan Firdaus
menyisakan trauma. Lalu kamu dengan mudahnya ingin meniru buku ini secara
keseluruhan, juga dikutip mentah-mentah ke media sosial tanpa atribusi? Kamu
tidak menghargai perjuangan kami!”
“Tapi–”
Haris mencoba memotong pembicaraan.
“Meskipun
untuk tugas, tapi tetap saja kamu tidak menghargai hak cipta kami! Hal yang
seperti inilah yang pernah membuat Winter Flowers itu muncul.” Idris
terlihat sangat marah sehingga memukul meja dan menunjuk Haris. “Ini hal
terakhir yang akan kami sampaikan kepadamu. Dengarkan baik-baik.”
“Sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
28 Tahun 2014, kamu akan dipenjara selama dua tahun dalam Rumah Tahanan
Sukamawar.” Idris kembali duduk
menenangkan dirinya. “Ada kata-kata terakhir?”
“Biarkan
orang tuaku tahu. Rumahku harus diisi kembali setelah ditinggal mereka.
Pastikan mereka aman selama tinggal di sana. Mereka meninggalkanku karena tidak
merasakannya.”
Idris
hanya tersenyum menyeringai. “Firdaus, bawa dia pergi.”
“Sebagaimana
biasanya, aku hanya pembawa sial dan nampaknya sekarang mengalir kepadanya.
Nasib yang kita alami, sekarang malah dia yang ternista.” Hanya itu yang
Firdaus ucapkan sampai dia membawa Haris pergi.
Akhir
dari Epilog
Komentar
Posting Komentar