Kasus 2 - Pembunuhan di Rumah Panas
Siang
menjelang sore di hari itu, Haris di rumah sendirian. Suasana sangat tenang
sampai Haris mendengar teriakan seorang wanita dari sebelah rumahnya.
“Astaga,
rumah ini panas sekali!” seru Haris.
Baru
masuk, Haris disambut dengan melihat seorang wanita yang dikenalnya. Dia adalah
ibu dari temannya, Riza. Sepertinya beliau yang berteriak.
“Ada apa
tante?” tanya Haris.
“Siapa
kamu?” tanya ibu Riza balik.
“Saya
tetangga anda, Haris.”
“Haris,
lihatlah itu,” tunjuk ibu Riza. Haris memasuki rumah itu semakin ke dalam,
melihat ke mana arah beliau menunjuk.
“Riza?”
Haris tidak percaya atas apa yang dia lihat. Riza tergeletak di ruang tengah,
tertimpa kipas angin yang seharusnya berada di atas. Dia kemudian memeriksa
keadaan Riza dari luar. “Tunggu, bajunya basah dan jantungnya masih berdetak.”
Haris
kemudian memeriksa lebih lanjut dengan menjauhkan kipas angin itu. Terlihat
satu bekas tusukan pisau di perut Riza. Terlihat darah dari pakaiannya masih
baru sehingga kemungkinan besar Riza baru saja ditusuk. Bahkan, disampingnya
ada sebilah pisau dapur yang berlumur darah.
Haris
memandang ibu Riza. Beliau sedang mengelap wajah dengan sapu tangan. “Tante,
anda tadi kemana?” tanya Haris.
“Saya
tadi pergi bersama suami saya untuk membeli AC. Tapi tadi toko langganan kami
yang jauhnya kurang lebih lima kilometer dari sini itu tutup. Jadi, daripada
berlama-lama mengingat cuaca yang panas, kami pulang,” jawab ibu Riza. “Iya kan
mas?”
“Iya,”
sahut ayah Riza singkat seraya melepas topinya. Beliau kemudian melihat keadaan
anaknya.
“Oh ya,
bisakah jasad anak Anda ini dipindah sebentar?” Haris meminta bantuan kepada
ayah Riza.
“Untuk
apa? Seharusnya pekerjaan ini kita serahkan pada polisi. Jadi, aku akan
menelpon mereka dahulu.” Saran ayah Riza diterima oleh Haris. Beliau kemudian
berdiri mengambil ponsel dari saku.
Tidak
lama kemudian, seorang wanita memasuki rumah Riza dari pintu belakang. “Ada
apa?” tanya beliau. Beliau adalah Yuli, tetangga keluarga Riza. Rambut beliau
terlihat basah. Pintu belakang kemudian dikunci ibu Riza dari dalam.
“Aris
dibunuh,” jawab Haris singkat. Itu hanya asumsinya. Belum ada bukti yang kuat.
Yuli hanya terdiam mendengar hal tersebut.
“Ya,
pak. Ada apa?” tanya seorang polisi melalui telepon.
“Anak
saya kami temukan tergeletak di rumah. Terlihat satu tusukan di perutnya.
Seharusnya dia bisa diselamatkan.”
“Astaga,
rumah ini panas sekali. Aku tidak mau mengotori diriku lagi setelah mandi.”
Baru sebentar, Yuli sudah mengeluh. Tapi itu bukanlah hal yang salah karena
semuanya kepanasan termasuk Haris.
Yuli
nampaknya tidak tahan lagi. Beliau kemudian keluar dari rumah itu melalui pintu
depan dan tanpa lupa menutupnya.
“Di mana
alamatnya?” tanya polisi itu lagi.
“Desa
Sukaramah di Jalan Raya Indah Rt. 6 Nomor 119,” jawab ayah Riza.
“Baiklah
pak. Kebetulan ada unit kami yang patroli di dekat sana. Sekitar lima menit,
mereka akan tiba.”
“Terima
kasih,” ucap ayah Riza kemudian mematikan panggilan. “Aku keluar dulu, di sini
panas sekali.” Ayah Riza membuka kunci pintu belakang dan keluar dari sana.
Dari jendela, terlihat ayah Riza sedang menunggu di halaman.
***
Mobil
polisi tiba di rumah Riza. Haris kemudian mencoba untuk berdiri.
“Awas
kepalamu!” seru ibu Riza.
Haris
berhenti seketika, melangkah mundur dan menengok ke atas. Dia terlihat
menyadari sesuatu.
Dua
opsir polisi memasuki rumah itu dari pintu depan. Mereka adalah Aipda Firdaus
dan Bripka Faisal. Setelahnya ayah Riza masuk melalui pintu belakang dan diam
di sana untuk merasakan angin.
“Apa
yang kamu lakukan, Haris?” tanya Bripka Faisal.
Haris
kedapatan sedang mengangkat kipas angin itu dan mencoba memasangkannya ke
tempatnya. “Hai, kalian sudah datang,” ucap Haris. “Bisakah kalian mengamankan
Riza dulu?”
“Bodoh!
Orang biasa tidak boleh mengubah keadaan TKP!” Bripka Faisal terlihat marah
atas apa yang dilakukan Haris.
“Tenanglah.
Biarkan dia melakukan apa yang dia mau,” sahut Aipda Firdaus. Dia kemudian
menjauhkan Riza, memeriksa keadaannya kemudian menelepon ambulans sementara
kipas angin berhasil dipasang Haris.
“Di mana
sakelarnya?” tanya Haris. Ibu Riza kemudian menunjuknya.
“Sakelar
ganda,” gumam Haris. “Keduanya mati.”
“Apa
fungsi kedua sakelar ini?” tanya Haris kepada ibu Riza.
“Satu
untuk kipas angin dan satu untuk lampu,” jawab ibu Riza. Haris melihat lampu
yang dimaksud dan mulai memahami sesuatu.
Bripka Faisal
memasang sarung tangannya dan mengamankan pisau dapur itu. “Pisau dapur
hanyalah untuk dapur bukan manusia,” ucap Haris kemudian tersenyum.
***
Ambulans
tiba. Seorang perawat masuk ke rumah Riza dan Aipda Firdaus berpindah posisi
mendekati Haris. Kemudian, datanglah dokter setempat.
Ketika
perawat itu memeriksa keadaan Riza, dia menegaskan bahwa jantungnya masih
berdetak. “Apakah Anda bisa menghentikan pendarahannya?” tanya Haris.
“Kami
akan membawanya langsung ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan lebih
lanjut.” Firdaus dan Faisal membantu
perawat itu memasukkan Riza ke dalam ambulans. Pintu belakang baru saja ingin
Haris bukakan namun mereka memilih pintu depan. Dari sana Haris menyadari
sesuatu.
Waktu terus
berlalu. “Rumah ini panas ya.” Firdaus dan Faisal mengeluhkan hal yang sama.
“Seandainya
aku tidak pergi membeli AC, ini tidak mungkin terjadi,” ucap ibu Riza.
Haris
kemudian menyenggol Firdaus yang berada di dekatnya secara perlahan. “Pak,
apakah benar ada toko AC yang jauhnya sekitar lima kilometer dari sini?” tanya
Haris.
“Ya,
kami baru saja melewatinya saat patroli. Ada apa?”
“Apakah
tokonya tutup?”
“Tidak.
Toko itu buka di hari libur nasional sekalipun.”
Haris
sangat terkejut atas hal itu. Dia berpikir sebentar dan sudah menyimpulkan
siapa pelakunya.
***
“Pak, panggilkan Mbak Yuli. Rumah beliau di
sebelah. Bangunan beton itu.” Haris meminta Bripka Faisal untuk melakukannya
dan menunjuk rumah Yuli. “Saya akan memberitahukan kebenarannya.” kataku.
Bripka Faisal
keluar dari rumah Riza untuk memanggil Yuli dan tidak lama kemudian mereka
kembali.
“Apa
lagi?” tanya Yuli.
“Terima
kasih telah berkumpul di rumah yang panas ini. Kali ini, izinkan aku untuk
menunjuk para pelaku dari kejadian ini.”
“Para
pelaku?” tanya Bripka Faisal.
“Ya,
Mbak Yuli dan ayah Riza, kalian pelakunya.”
“Yang
benar saja? Bukankah istriku sudah memberitahukan bahwa kami pergi ke toko saat
waktu pembunuhan?” Ayah Riza nampak marah ketika Haris mengucapkan hal itu.
Beliau yang tadinya duduk di dekat pintu belakang, langsung berdiri dan mencoba
mendekati Haris namun dihalangi Aipda Firdaus.
“Anda
memang pergi kesana. Tetapi kalian berbohong toko itu tutup. Bapak polisi ini
memberitahukan bahwa toko itu buka bahkan di hari libur,” jawab Haris. Suasana
hening sesaat.
“Baiklah,
kami mengaku berbohong,” ucap ibu Riza. “Tapi jika kami di sana, bagaimana cara
melakukannya?”
“Di
situlah Mbak Yuli beraksi.” Yuli hanya diam.
“Ketika
saya tiba di sini, Mbak Yuli datang terlambat setelah mendengar teriakan itu
padahal rumah kami sama dekatnya dengan rumah Riza ini. Mbak Yuli tiba dengan
rambut yang masih basah dan beralasan baru saja mandi.”
“Mbak,
rumah anda itu beton lho. Seharusnya dingin kecuali anda keluar rumah. Untuk
apa juga mandi di jam sekarang?” Pertanyaan itu dijawab Haris sendiri.
“Saya
yakin ketika anda mengetahui orang tua Riza pergi, aksi langsung dilancarkan.
Riza tidak akan curiga karena tahu anda tetangga. Anda masuk melalui pintu
belakang yang terbuka. Anda menusuk Riza dari belakang namun mengincar perut
dan dia tidak sadarkan diri akibat hal itu.”
“Saya
yakin suhu ruangan yang panas menambah kegugupan anda sehingga langsung
melepas. Anda tidak sabar untuk menyalakan kipas angin namun lampu masih
menyala.” Haris kemudian menyalakan saklar yang telah dia tanyakan fungsinya
kepada orang tua Riza itu. Lampu kemudian menyala.
“Aku
peringatkan kalian jangan berada tepat di bawah kipas angin itu, karena jika
kalian di sana—” Haris menyalakan saklar yang satunya. Kipas angin itu
berguncang keras sampai terlepas dan jatuh tepat di tempat Riza tadinya
tergeletak. Hal itu mengejutkan semua. “Mbak Yuli panik atas hal ini sehingga
langsung pulang.”
“Sekarang,
apa motif Anda?” tanya Haris kepada Yuli.
“Aku
sudah lama membenci Riza, semenjak dia bernyanyi dengan keras. Itu sangat
menggangguku dan orang tuanya memberiku kesempatan untuk melakukannya.”
Pengakuan dari Yuli membuat tangannya diborgol Faisal.
“Apa
hubungannya dengan orang tua korban?” tanya Aipda Firdaus.
“Aku
sangat curiga kepada ayah Riza. Beliau selalu memilih pintu belakang, padahal
halaman depan rumah lebih cepat ditempuh melalui pintu depan. Aku curiga beliau
menyempatkan berbicara dengan Mbak Yuli atas hal ini. Aku yakin bahwa ayah Riza
lah yang membohongi istrinya atas tutupnya toko itu.” Mereka terdiam setelah
Haris menyatakan hal itu.
“Satu
pertanyaan tersisa, benarkah itu?” tanya Bripka Faisal.
“Iya,
itu benar. Aku bahkan telah merencanakan ini sejak lama,” jawab ayah Riza. “Aku
membencinya. Berkali-kali aku menegur, tapi dia tidak menanggapi dan malah
lebih patuh pada istriku.” Tangan beliau kemudian diborgol Firdaus. Sekarang,
di dalam mobil patroli itu sudah ada Yuli dan ayah Riza.
“Dari
hal ini, ibu Riza terlihat tidak bersalah,” ucap Aipda Firdaus.
“Ada
yang salah dengan beliau,” sahut Haris.
“Apa?”
“Aku
tidak tahu itu apa. Yang jelas, beliau tidak mengenalku ketika aku masuk rumah
ini. Padahal kami sering berbicara di halaman.”
***
“Jadi,
rumahmu dekat sini?” tanya Aipda Firdaus.
“Ya,
memangnya kenapa?” sahut Haris. “Apakah anda mau macam-macam?” Pikiran negatif
menghantui Haris setelah merasakan pengalaman pahit itu.
“Tidak.
Aku berharap bisa lebih sering berkunjung. Penalaranmu bagus, siapa tahu kami
memerlukan bantuan dalam memecahkan kasus.”
“Tidak
akan!” sahut Haris sontak. “Aku tidak akan membantu kalian!”
“Kalian
telah membuat kedua orang tua meninggalkanku!” Haris terlihat sangat marah
sementara Aipda Firdaus hanya diam.
“Apa
maksudmu?” tanya Bripka Faisal.
“Mereka meninggalkanku di malam hari dimana
mereka menonton berita ditangkapnya aku di sekolah. Aku sudah menegaskan bahwa
aku tidak bersalah dan kalian sudah membuktikannya. Seharusnya tidak perlu
diberitakan. Jadi ini salah kalian!” Haris yang marah meninggalkan mereka.
Tangannya sempat ditahan Faisal namun dia menangkisnya.
“Firdaus,
ada apa denganmu?” tanya Aipda Firdaus kepada dirinya sendiri sambil menahan
air matanya menetes. “Seandainya kamu tahu Brigpol Kurniawan termasuk anggota
generasi baru Winter Flowers, sebuah organisasi kejahatan yang berdalih
pernah melalui berbagai kesusahan namun membalaskan kepada semua orang, kamu
mungkin sudah menangkapnya dari lama dan tidak akan ada orang yang menderita.”
***
Haris
bangun tidur di pagi itu. Ketika dia turun dari kasurnya, dia menginjak
sesuatu. Haris mengambilnya.
Itu
adalah sebuah amplop dengan surat di dalamnya. Isinya kedua orang tuanya
memberitahukan bahwa mereka meninggalkannya. Mereka takut polisi akan datang ke
rumah dan juga menangkap mereka yang tidak bersalah hanya karena ada hubungan
darah dengan Haris.
Ayah
Haris memberitahukan bahwa beliau meninggalkan uang yang cukup untuk kehidupan
Haris ke depannya. Hal itu membuat Haris memeriksa lemari. Di dalamnya,
terdapat sebuah brankas mini dengan gembok yang mengharuskan menentukan enam
digit angka untuk membukanya. Pada brankas itu, tertempel stiker kue mangkok
kecil dengan lilin di atasnya.
“Apakah
ini sebuah kode?” tanya Haris pada dirinya. Dia kemudian mencoba memasukkan
tanggal lahirnya dan brankas itu terbuka. Di sanalah ayahnya menaruh uang yang
beliau maksud. “Aku yakin mereka telah mempersiapkan ini sejak lama.”
Akhir
dari Kasus 2
Komentar
Posting Komentar