Kasus 4 - Pencurian Berantai
Hari itu, Haris sedang di sekolah. Pelajaran pertama yakni Bahasa Inggris berlangsung. Waktu berlalu seiring Firman terus mengajar.
Sampai
saat dimana Haris kebelet pipis. Dia meminta izin untuk pergi ke toilet. Ketika
Haris kembali, pulpen yang diletakkannya di atas meja menghilang.
Haris
pun duduk dan menanyakan kepada teman di sampingnya Dian. Karakter Dian adalah
tipe pendiam namun sudah banyak kebaikan yang diberikannya kepada Haris. “Dian,
kamu melihat pulpenku?” tanya Haris.
“Bukannya
kamu yang menaruhnya di mejamu sendiri?” jawab Dian.
“Mengapa
dalam waktu sesingkat itu, pulpenku bisa hilang?” Haris nampaknya sangat
keheranan. “Bukan kamu kan yang mengambilnya?”
“Untuk
apa aku mengambil pulpenmu?” Dian mengelak tuduhan itu. “Aku saja sudah punya
banyak di rumah.”
Pengumuman
disampaikan melalui pengeras suara. Seluruh dewan guru diharapkan pergi ke
kantor sebentar untuk melaksanakan rapat. Firman merapikan bukunya kemudian
keluar meninggalkan kelas. “Jangan membuat keributan dan jangan ada yang
keluar.” Hanya itu pesan dari beliau.
Haris
tetaplah menjadi dirinya. Dia nampaknya begitu penasaran apa yang menyebabkan
rapat mendadak itu. Haris kemudian keluar dari kelas tanpa sepengetahuan
teman-temannya karena mereka sibuk berbicara satu sama lain.
***
Haris
mengintip dari kejauhan untuk melihat apa yang terjadi di kantor. Semua guru
terlihat sudah berdatangan di sana. Sang kepala sekolah menggunakan pengeras
suara sehingga terdengar sayup-sayup dari luar kantor.
“Terima
kasih telah datang.” Sang kepala sekolah membuka rapat dengan menyambut para
guru yang berhadir.
“Ada apa
sehingga Anda mengadakan rapat ini?” tanya Firman.
Kepala
sekolah terdiam sejenak. “Komputer kita yang ada di laboratorium bahasa dan
ruang multimedia menghilang semua.” Semua guru nampak terkejut atas hal
tersebut.
Haris
tidak percaya. Dia berlari menuju laboratorium bahasa dengan langkah kaki yang
cukup nyaring karena hanya menggunakan sandal sebagai alas. Dia menyadari hal
itu sehingga berhenti berlari namun terus berjalan.
Firman
mendengar hal tersebut dan curiga. Beliau kemudian keluar dari kantor sebentar
setelah mendapat izin dari kepala sekolah sebagai pemimpin rapat.
“Haris!”
teriak beliau. Haris sontak berhenti berjalan kemudian menengok. “Kembali ke
kelas!”
“Tapi saya juga ingin tahu kemana hilangnya
semua komputer itu,” sahut Haris.
***
Enam
bulan yang lalu, pertemuan pertama Firman dengan Haris.
“Dimana
motorku?” Firman mencari di tempat parkir yang telah disediakan. “Kurasa aku
memarkirkannya disini.”
Saat
itu, Haris sedang dalam puncak masa kenakalannya. Dia membolos di tempat parkir
itu dan melihat Firman kebingungan. Haris pun mendekat.
“Halo
pak,” sapa Haris. “Apa yang anda cari?”
Di titik
itu, sebenarnya Firman ingin memarahi Haris. “Saya menaruh motor di sini pagi
tadi, sekarang sudah tidak ada.” Beliau mencoba menenangkan diri sekaligus
menanyakan hal tersebut dengan menjelaskan ciri-ciri motor.
“Satpam
memindahkannya ke sana,” tunjuk Haris ke tempat parkir baru. Tempat parkir lama
sedang dalam proses penghancuran dan satpam turut serta dalam pengerjaan
sehingga tidak melihat adanya orang yang ingin mengambil motor. Itulah yang
mendasari keputusannya untuk memindahkan ke tempat yang lebih aman.
***
Firman
masih mengingat kejadian itu dan memutuskan untuk melepaskan Haris.
“Lakukanlah.” Dia kemudian kembali mengikuti rapat.
Haris
tanpa ragu berjalan mengarah ke laboratorium bahasa. Benar saja, semua komputer
yang seharusnya berada di sana menghilang entah kemana. Dia kemudian melakukan
penyelidikan, dimulai dengan mengelilingi ruangan itu.
Haris
menemukan sebuah kertas yang terlihat baru di salah satu meja. “Aku tidak mau
menyentuhnya.” Haris sekadar melihatnya karena takut dituduh sebagai pelaku
lagi oleh polisi.
Kertas itu
bertuliskan “Aku kembali.” Tidak ada penjelasan lain, hanya kalimat itu.
Haris
beranjak menuju ruang multimedia. “Tidak ada apa-apa,” ucap Haris. “Hanya
kamera yang sepertinya milik humas sekolah dan lensanya pun tertutup.”
Sampai
Haris menemukan sebuah kertas lagi. “Aku akan membalas.” Dia mencoba memahami
maksud tulisan yang ada di kertas-kertas itu seraya kembali ke kelas.
Ketika
Haris kembali ke kelas dan duduk di kursinya, “Sejak kapan pulpenku ada di
sini?” Pulpen Haris ditemukan di atas mejanya.
***
Rapat
itu berlangsung lama, bahkan sampai tiba waktu Zuhur tidak ada yang dipelajari.
Sekolah Haris mengizinkan seluruh siswanya menggunakan sandal untuk berwudhu
namun tidak dengan Haris karena dia memakainya setiap waktu kecuali siang ini
untuk pertama kali menaruhnya di rak.
Haris
yang tadinya tiduran di kelas, pergi menuju rak sandal namun miliknya tidak ada
di sana.
“Kurasa
baru lima menit sandalku diletakkan di sini,” gumam Haris menatap rak sandal
itu.
Tidak
berapa lama kemudian, Dian mendekat kepada rak sandal itu. Dia meletakkan
sandal milik Haris ke tempatnya.
“Kenapa
kau menggunakan sandalku tanpa memberitahuku?” tanya Haris pada Dian. Haris
terlihat sedikit kesal.
“Ketika
aku mencari sandalku, aku tidak menemukannya.”
“Lalu
yang di kakimu itu apa?”
“Rupanya
Said yang minjam. Dia kira punyanya gak ada. Ternyata baru ingat meletakkannya
di bawah meja.”
“Said?
Bukannya dia libur?” Haris tidak percaya.
Malam
sebelumnya, Said datang ke rumah Haris untuk menitip surat yang memberitahukan
bahwa dia tidak bisa berhadir besok. Surat itu bahkan masih ada di atas meja
guru.
***
Haris
menuju tempat wudhu yang sekarang dipenuhi para guru. “Sudah selesai rapatnya
atau hanya istirahat?” gumam Haris.
Selesai
berwudhu, Haris tidak langsung pergi ke musala. Dia hanya berdiri di luar.
Terdengar keributan dari dalam. Haris yang penasaran memasuki musala itu.
Mesin
pengeras suara yang biasanya digunakan untuk azan menghilang. Haris melihat
seseorang yang dikenal dan mendekatinya.
“Apa
yang Anda lakukan di sini?” tanya Haris.
“Apa
lagi kalau bukan untuk menyelidiki semua ini?” jawab Aipda Firdaus.
“Di mana
Pak Faisal?”
“Aku
hari ini menyelidiki hanya sendirian. Faisal ada urusan lain yang harus dia
selesaikan.”
Azan
pada Zuhur itu hanya digaungkan oleh salah seorang siswa yang kebetulan
bersuara nyaring meskipun hanya di dalam ruangan.
***
Waktu
Zuhur selesai. Aipda Firdaus mendekati Haris di luar ruangan. “Apakah kau sudah
tahu pelakunya?” tanya Aipda Firdaus.
“A-apa
maksud anda?” Haris bersikap seolah tidak tahu.
“Pelaku
pencurian komputer itu, aku yakin kamu menyelidikinya juga.” Haris terdiam.
“Baiklah,
saya mengaku menyelidikinya. Tapi saya belum mengetahui pelakunya dan sekarang
saya rasa perlu untuk melihat tempat ditaruhnya mesin pengeras suara itu.”
Mereka berdua
kembali ke dalam musala. Di atas lemari itu, tertempel sebuah stiker dengan
gambar bunga plum yang tertutupi salju.
Haris
yang melihat Aipda Firdaus tercengang, bertanya “Ada apa, pak?”
Firdaus
kemudian mengambil ponselnya. “Faisal! Hubungkan aku dengan Dimas. Sekarang!”
Panggilan itu dimatikan.
“Siapa
Dimas?” tanya Haris. Kali ini dia benar-benar tidak tahu.
“Mantan
ilusionis yang telah membunuh seorang wanita dan pernah membantu Winter
Flowers dalam banyak hal.”
“Siapa
Win–Apa?” Ponsel Aipda Firdaus berdering saat Haris menanyakan itu.
“Winter
Flowers. Kamu akan mengetahuinya segera.” Firdaus mengangkat panggilan itu
dan menyalakan pengeras suara ponselnya agar Haris bisa mendengar. “Dimas! Ini
semua kerjaanmu 'kan?”
“Hei,
ingat! Aku saja mendekam dalam penjara sekarang dan kamu mau menuduhku untuk
sesuatu yang tidak kulakukan?”
“Aku
tahu Winter Flowers itu ada lagi, dan rekan keduaku Kurniawan termasuk
anggotanya. Aku yakin kamu yang mengajarinya agar bisa bebas dari penjara!”
“Perlu
kamu ketahui, Firdaus. Semenjak aku mengakui kejahatan itu kepada Kepolisian
Sukamawar, aku lepas tangan dari semua yang dilakukan Winter Flowers,”
jawab Dimas. “Tapi untuk mengajari sebuah trik? Tidak dibayar dengan pantas?
Aku mengingatkanmu dengan tegas bahwa tidak akan pernah melakukannya lagi. Bisa
saja mereka mempekerjakan ilusionis baru atau memodifikasi trik yang pernah
kuajarkan kepada Zain namun dia membagikannya.”
“Terima
kasih,” pungkas Aipda Firdaus saat ingin mematikan panggilan.
“Terima
kasih kembali, Firdaus. Semoga harimu menyenangkan. Jangan lupa, aku titip
salam dengan Idris seperti biasa.” Firdaus hanya tersenyum kecil.
“Jadi, Winter
Flowers itu sebuah organisasi?” tanya Haris.
“Ya,”
jawab Aipda Firdaus sambil memasukkan ponsel ke dalam sakunya.
“Lalu, siapa
Id–”
“Tolong!”
Teriakan yang tiba-tiba itu terdengar dari luar ruangan.
Aipda Firdaus
dan Haris spontan keluar mencari sumber suara itu. Terlihat seorang pencuri
dengan membawa tas berwarna merah muda lari dengan begitu cepatnya
“Haris,
kamu periksa korban sementara aku mengejar pencuri itu.” Firdaus memberikan
strategi dan langsung berlari tanpa sepatu.
Haris
berlari menuju sumber suara teriakan. Dia menemukan seorang gadis bernama Ida
yang terbaring dengan Dian yang memegang pisau siap menghujamnya.
“Dian!
Apa yang kau lakukan disana?!” teriak Haris.
Dian
melihat Haris dan dia melepas pisau dari tangannya.
“Apa
yang kau coba lakukan, Dian?”
Tim
Palang Merah Remaja melihat kejadian itu kemudian membawa Ida ke UKS.
“Aku
membencinya,” ucap Dian.
“Itu tidak
menjawab pertanyaanku, tapi kenapa kamu membencinya?”
“Dia
selalu merusak apa yang kupunya. Kali ini, sandalku yang kena.” Haris memandang
ke kaki Dian. “Saat tas Ida dicuri, dia mengejar pelakunya begitu juga aku.
Perebutan terjadi tempat ini namun dia malah menghantamku sampai kami berdua
jatuh. Aku kesal atas hal itu dan melihat pisau yang menurutku miliknya
terjatuh di dekatku sehingga pikiran pertamaku adalah membunuhnya.”
“Ada
yang salah dengan dirimu. Pergilah ke BK. Jika urusanmu selesai, ambil sandal
di bawah mejaku. Itu untukmu, menggantikan sandal.” Entah apa yang membuat
Haris tiba-tiba baik seperti itu. Dian berjalan menuju ruang BK dan Haris
melihatnya dari kejauhan.
Aipda Firdaus
berhasil menghentikan pencuri itu dengan menarik tangan kemudian membantingnya.
“Akhirnya.” Napas Aipda Firdaus ngos-ngosan, belum terbiasa mengejar seseorang.
Aipda Firdaus
kemudian membuka topengnyang hanya dibuat dari kertas itu. “Anaknya Kurniawan?”
Firdaus begitu terkejut melihat wajahnya.
“Said?”
Begitu juga Haris. “Anaknya Kurniawan?” Haris kemudian bingung dan teringat
pengalamannya dengan Kurniawan.
“Tunggu,
kamu juga mengenalnya?” tanya Aipda Firdaus kepada Haris.
“Dia
teman sekelasku yang mengaku ingin libur hari ini namun malah meminjam sendal
temanku tanpa memberitahunya dimana itu bisa dikatakan sebagai pencuri.”
“Tapi
aku sudah mengembalikannya!” sahut Said. Haris begitu kesal sehingga
menamparnya namun Aipda Firdaus menahan agar dia tidak melakukannya terus.
“Siapa
pemilik tas ini?” tanya Aipda Firdaus kepada Said.
“Aku
bahkan tidak tahu. Aku hanya asal mengambil.” Kemarahan Haris semakin meluap.
“Haris!”
Ucapan Aipda Firdaus membuat Haris terdiam. “Tenanglah. Aku sedang mencari
solusi.”
“Tas itu
milik Ida, teman perempuan di kelas kami. Dia sekarang berada di UKS.” Haris
yang sudah tenang mengatakan hal tersebut. “Aku akan membawanya ke BK.”
“Aku
mempercayakannya kepadamu.”
***
Aipda Firdaus
dan Haris bertemu di luar ruang BK untuk berbicara.
“Kurasa
kasus ini sudah selesai,” ucap Haris.
Akhir
dari Kasus 4
Komentar
Posting Komentar